16 Oktober 2008

Kematian HMI


HMI, Umat Islam, dan The End of History?

Ditulis oleh Akral Ghiffary


HMI tak punya pilihan lain, ia harus sedemikian rupa menunjukkan kalau dirinya bersih, terhormat, dan bermoral tinggi. Bahwa HMI tidak pernah mengajarkan kader-kadernya untuk jadi penjahat, maling, koruptor, dan sejenisnya. Hal ini penting agar HMI tidak mengalami—meminjam Francis Fukuyama—the end of history.

Usia Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-58 menegaskan bahwa organisasi mahasiswa yang didirikan Lafran Pane di Yogyakarta pada 5 Februari 1947 silam, kian memasuki masa-masa (proses) pematangan. Proses tersebut terutama dari segi penguatan internal organisasi dan perkaderan, serta penyikapan terhadap realitas keumatan. Dari sisi prestasi dan kesejarahan, HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang telah berbuat banyak bagi kemajuan bangsa.
Tak salah kalau Jenderal Soedirman menyebut HMI sebagai “Harapan Masyarakat Indonesia”. Namun tak dapat disangkal pula kalau HMI—meminjam Nurcholis Madjid (Cak Nur)—turut menghancurkan dan memperpuruk kehidupan bangsa.

Tidak sedikit dari alumni-alumni HMI yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi (baik yang masih bebas berkeliaran, maupun yang sudah dihukum). Sehingga sangat beralasan kalau Cak Nur (Ketua Umum PB HMI dua periode, 1966-1971) berpendapat, “akan lebih baik jika HMI dibubarkan saja”.

Cak Nur mungkin benar, tetapi harus diingat bahwa masih banyak (juga) alumni-alumni HMI yang tetap konsisten dan idealis, seperti halnya Cak Nur sendiri.

Sejarah HMI tidak bisa dilepaskan dari perseteruan besar yang pernah terjadi di tubuh HMI. Perpecahan HMI tahun 1986, melahirkan dualisme kepengurusan di tubuh HMI: HMI-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan HMI yang bermarkas di jalan Diponegoro (HMI-Dipo).

HMI-MPO mempertahankan asas Islam, sementasa HMI-Dipo menerima asas tunggal Pancasila, yang dipaksakan oleh Soeharto lewat UU Keormasan pada 1985. Hingga berakhirnya rezim Soeharto, HMI-MPO adalah satu-satunya organisasi yang tetap menentang pemberlakukan asas tunggal Pancasila.

Setelah pencabutan asas tunggal Pancasila di zaman reformasi, seluruh organisasi yang pernah mengubah asasnya atas tekanan Soeharto, kembali kepada asasnya yag semula, termasuk dua organisasi massa Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah.

HMI-Dipo sendiri mengganti asas Pancasila dan kembali memberlakukan asas Islam pada Kongres Yogyakarta, tahun 2000. Sikap HMI-MPO yang menentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila, dapat dinilai sebagai bagian dari tradisi (ajaran) perlawanan kaum Muslimin (meskipun minoritas) atas kekuasaan yang tiranik, otoriter, korup, dan zalim. Maka, kemenangan HMI-MPO mempertahankan asas Islam adalah juga kemenangan umat Islam secara keseluruhan.

Hal yang patut disyukuri bersama terhadap dualisme kepengurusan di HMI adalah, aktivitas kedua “saudara kandung” yang tetap dapat berjalan secara berdampingan, saling menghargai, harmonis, dan tanpa konflik “berdarah”.

Mungkin pernah terjadi clash, namun tidak sampai membahayakan. Bahkan belakangan antar keduanya kerap menjalin koalisi gerakan dan saling mengundang dalam pertemuan-pertemuan.

Pilihan HMI-MPO untuk “berhadap-hadapan” dengan rezim Orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran (peripheral) sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan HMI-MPO yang cukup khas.

Ada tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan HMI-MPO: Pertama, gerakan moral-politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan berbasis moralitas Islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya. Ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang di kawasan Yogyakarta (Ismatillah A Nu’ad, Republika, 20/08/03).

***

HMI harus (tetap) mampu memposisikan dirinya sebagai “the creative minority” (minoritas yang kreatif), setelah—mengutip Hikmat Budiman (1997)—perpaduan rasionalitas instrumental ilmu pengetahuan modern dan kapitalisme telah dipercaya melakukan sebuah mekanisme “penghancuran kreatif” (creative destruction).

Dalam arus instrumentalisme, kapitalisme, dan birokratisme, kreativitas berperan terutama sebagai alat picu gasasan dan paradigma alternatif. HMI jangan berpikir untuk memformat kader-kadernya yang outputnya satu model (style) saja, sebab hal demikian (tidak lain) merupakan “pemasungan kreativitas” kader.

HMI seharusnya hanya berkepentingan sebagai wadah yang selanjutnya mendorong pengembangan potensi-potensi setiap kadernya, (tentu) dengan tetap bersandar pada nilai dan cita-cita Islam.

Pada saat yang sama, HMI harus konsisten sebagai gerakan intelektual. Ketika menjejak dunia politik, HMI harus memerankan "politik intelektual" dan bukan “politik praktis”. Pecahnya beberapa kelompok-kelompok independen, lebih karena mereka bermain di wilayah praktis, bukan di wilayah intelektual.

Jika HMI tidak ingin terbelah-belah lagi, maka ia harus pandai bermain di wilayah intelektual. Sebagai gerakan intelektual, HMI harus berpihak kepada kebenaran (hanief), kepada kaum yang lemah dan terpinggirkan (mustadh’afien)—sehingga mereka mendapat posisi tawar (bargaining position) yang kuat dalam menentukan arah kebijakan negara agar berpihak kepada mereka.

Edward W. Said mengatakan, intelektual itu melakukan speaking truth to power (berbicara benar kepada kekuasaan). Ketika HMI menganggap diri gerakan intelektual, maka ia harus berani untuk melakukan hal yang sama, berbicara benar kepada kekuasaan.

Kurun 58 tahun keberadaannya, HMI harus sudah melakukan evaluasi yang benar-benar mendalam, serta sedapat mungkin (juga) melakukan penyegaran organisasi. Azyumardi Azra (1999) berpendapat, “Jika HMI ingin tetap memposisikan diri sebagai salah satu pembawa bendera terdepan di kalangan kaum muda dan mahasiswa Muslim, agaknya sudah waktunya bagi HMI untuk melakukan reassessment menyeluruh atas dirinya secara jujur. Tanpa keberanian “menguliti” diri, ... perlahan tapi pasti, HMI akan semakin kehilangan relevansinya, dan akhirnya menjadi organisasi marjinal belaka”. Bukankah kita dapat melihat bahwa di beberapa kampus-kampus besar, seperti UI, UGM, ITB, IPB, HMI sudah tidak lagi menarik bagi mahasiswa?

***

Bangunan “pemerintahan mahasiswa” (student government) di kampus-kampus, kian kehilangan taring dan nilai tawar (bargaining position) dalam menghadapi realitas dunia kampus dan situasi sosio-politik.

Pasca-Orba, proses demokratisasi terus dilakukan—meskipun mengalami pembusukan dan pengerdilan. Rezim yang berkuasa tidak lagi se-otoriter Soeharto. Kran kebebasan berpendapat dan berekspresi dibuka selebar mungkin.

Namun, gerakan mahasiswa sendiri terlihat gamang menghadapi situasi yang ada. Mungkin ada kaitannya dengan sistem pengkaderan di kalangan gerakan mahasiswa yang sejak awal memang diformat sedemikian rupa untuk “memusuhi negara”, lalu menjadi bingung ketika rezim—meskipun tetap jahat dan kejam (?)—tidak lagi “sejahat” dan “sekejam” Soeharto. Rupanya gerakan mahasiswa dituntut untuk dapat menemukan model-model gerakan yang tepat.

Di kampus sendiri, gerakan mahasiswa harus menghadapi (paling tidak) dua hal, yaitu: Pertama, kultur akademik yang kian tidak memberi ruang kepada mahasiswa untuk menggembleng diri di organisasi kemahasiswaan.

Kedua, serangan budaya pop (pop culture) yang kian menghempaskan (menegasikan) sisi-sisi heroisme, perlawanan, (dan mungkin juga) idealisme mahasiswa. Kedua hal ini tentu saja (juga) dihadapi oleh HMI. Jika tidak ingin kehilangan pengaruh di kampus-kampus, maka HMI sebaiknya melakukan context of interpretation terhadap model-model gerakannya.

Sementara itu, HMI juga perlu menyadari bahwa sudah terjadi semacam pembusukan kultural di masyarakat (dan mahasiswa), terkait kasus-kasus hukum yang melibatkan alumni-alumni HMI.

HMI tak punya pilihan lain, ia harus sedemikian rupa menunjukkan kalau dirinya bersih, terhormat, dan bermoral tinggi. Bahwa HMI tidak pernah mengajarkan kader-kadernya untuk jadi penjahat, maling, koruptor, dan sejenisnya. Hal ini penting agar HMI tidak mengalami—meminjam Francis Fukuyama—the end of history.

*Penulis adalah Pemerhati Himpunan Mahasiswa Islam
(sumber www.hmikotaro.or.id)

Tidak ada komentar: